Rabu, 08 Oktober 2014

SEDIKIT DARI SUKU GAYO



BAB I
PENDAHULUAN

A.1 Latar Belakang
            Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
            Ada pula beberapa catatan yang mengatakan bahwa sejarah Gayo mulanya ditandai oleh sejarah lisan yang tersimpan dalam dongeng. Hal ini dapat dilihat pada cerita rakyat semisal “Genali”. Pada cerita rakyat itu disebutkan bahwa Genali merupakan manusia Gayo yang pertama. Dikatakan bahwa Genali terdampar dari negeri Rum. Sebelum masuk Islam ke Nusantara, penduduk Gayo masih animisme. Islam membuat perubahan sosial dalam amsyarakat Gayo, seperti pencampuran kepercayaan animisme dengan kepercayaan dalam Islam.
            Susah memang menemukan data akurat tentang hal itu. Selama tidak ada bukti tertulis atau dokumentasi yang diakui keabsahannya. Apalagi di zaman sekarang, banyak fakta sejarah yang dikarang-karang atau ‘dijungkirbalikkan’. Namun, mencoba memaparkan secuil sejarah adalah lebih baik daripada menyembunyikannya.

B.1 Rumusan Masalah
            Bagaimana sejarah, pola persebaran, mata pencaharian, pola permukiman, jumlah penduduk, serta bahasa dari masyarakat suku Gayo ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.2 Sejarah Suku Gayo
            Kata Gayo berasal dari kata pegayon, yaitu tempat mata air yang jernih, tempat ikan dan kepiting bermain. Suku yang mendiami wilayah ini sudah ada dan berkembang sejak pemerintahan Raja Linge I (sekitar abad X Masehi). Mulanya, suku Gayo dikenal dengan sebutan suku perbukitan, karena letak geografis masyarakat penutur bahasa Gayo berada di daerah dataran tinggi Aceh Tengah dan Blang Kejeren.
Seorang penyair dari dataran tinggi Gayo, L.K Ara, pada satu artikelnya menyebutkan bahwa suku Gayo datang dari suku Melayu Tua, yang masuk melalui pulau Sumatera. Pertama-tama suku ini tiba dan menetap di pantai timur Aceh. Pusat pemukimannya antara muara aliran sungai Jambo Aye, sungai Perlak, dan sungai Tamiang. Masyarakat di sini kemudian menyebar mengikuti aliran sungai hingga sampai ke Kemukiman Serbajadi, Kemukiman Lingga, dan Gayo Lues. Hingga saat ini, suku Gayo mendiami wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kutacane, dan sebagian di Lokop, Aceh Timur.

            Ada pula beberapa catatan yang mengatakan bahwa sejarah Gayo mulanya ditandai oleh sejarah lisan yang tersimpan dalam dongeng. Hal ini dapat dilihat pada cerita rakyat semisal “Genali”. Pada cerita rakyat itu disebutkan bahwa Genali merupakan manusia Gayo yang pertama. Dikatakan bahwa Genali terdampar dari negeri Rum. Sebelum masuk Islam ke Nusantara, penduduk Gayo masih animisme. Islam membuat perubahan sosial dalam masyarakat Gayo, seperti pencampuran kepercayaan animisme dengan kepercayaan dalam Islam.

B.2 Pola persebaran suku gayo    
Persebaran orang Gayo menjadi beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara, juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan.
Faktor ekonomi menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik, (sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.”
Terjadinya persebaran tersebut turut memengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo, variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo Lokop atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh Tamiang) dan kabupaten Gayo Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami. Orang-orang Gayo di kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon), yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat lain. atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten.

C.2 Mata Pencaharian
Pada umumnya mayoritas penduduk Gayo bermata pencaharian sebagai petani, peternak, palawija, home industri, nelayan dan pedagang. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:60) Yang menonjol di dataran tinggi Gayo adalah perkebunan kopi yang sangat bagus, juga didukung dengan tanah yang subur dan udara yang sejuk. Dataran tinggi Gayo merupakan penghasil kopi terbesar diprovinsi Aceh, rata-rata kopi yang dihasilkan diekspor keluar negeri seperti Jepang, Jerman, singapura, Malaysia, Amerika, dan Belanda.
Dataran tinggi Gayo juga terkenal dengan hasil palawijanya yang mengisi semua sektor pasar di provinsi Aceh, rata-rata hasil palawija yang dihasilkan dikirim ke ibukota provinsi untuk untuk menunjang kebutuhan masyarakat perkotaan.      
Dataran tinggi Gayo memiliki berbagai potensi yang dikembangkan masyarakat, ini tergantung pada tempat dan kondisinya, karena tidak semua lahan yang ada dataran tinggi Gayo dapat ditanam perkebunan kopi, ada beberapa sektor yang dipakai sebagai tempat untuk berternak, seperti daerah Isak, Lingge, dan Lumut di kecamatan Isak, mayoritas penduduk disini mengembala ternak, seperti, kerbau, sapi, domba, biri-biri, dan kambing.
Sektor pariwisata, di dataran tinggi Gayo mempunyai danau laut tawar, pantai menye, goa putri pukes, legenda loyang Datu, makam Reje Lingge, home industri, air terjun, pantan terong, kuliner belum lagi di daerah kabupaten Bener Meriah, Gayo Lues dan lainnya. Objek wisata ini juga merupakan penunjang mata pencaharian masyarakat sekitar (Wikipedia, 15 september 2010).

D.2 Pola Permukiman
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman,    yang dipimpin oleh mukim.
Pada masa sekarang sistem pemerintahan mengikuti sistem pemerintahan nasional. Yang membedakan dengan daerah lain yang ada di Indonesia yaitu terdapat beberapa buah mukim. Mukim merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Pada pemerintahan yang ada di dataran tinggi Gayo tidak mengenal dengan sistem RT / RW yang ada hanya satu bagian yang disebut sebagai Dusun, dipimpin kepala Dusun dan perangkatnya.

E.2 Jumlah Penduduk
Sebagaimana suku lain, sejarah perang dan perjalan waktu telah membuat perubahan drastis jumlah penduduk Gayo. Masa Belanda, misalnya, jumlah penduduk Gayo per tahun 1905 sekitar 50.000 jiwa. Tahun 1930 meningkat menjadi 50.076 jiwa. Demikian halnya masa penjajahan Jepang, tahun 1942, penduduk Gayo diperkiarakan meningkat menjadi 72.500 jiwa, yang terdiri atas 29.000 jiwa penduduk sekitar Gayo Lut dan 23.000 jiwa penduduk Gayo Lues, serta 20.500 jiwa wilayah Alas (A.J. Piekar, 1949).  yasirmaster.blogspot.com


F.2 Bahasa
            Bahasa Gayo (Pengucapan: GayĆ“) adalah sebuah bahasa dari rumpun Austronesia yang dituturkan oleh suku Gayo di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo.
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan tanoh Gayo (tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah propinsi Aceh.

Sejarah
Bahasa-bahasa yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austronesia (Merrit Ruhlen dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayo-Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra: “Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Eades 2005:4)
Bahasa ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayo-Polinesia, dan dikelompokan dalam bagian Austronesia seperti yang disebutkan Merrit Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada sejak suku ini menempati daerah ini. Suku Gayo sendiri sudah menempati Aceh (Peureulak dan Pasai, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh) sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1). Untuk menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini, diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "


Variasi Dialek
Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak memengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut memengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.

Fungsi
Dalam pergaulan sehari-hari antar orang Gayo, bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi. Meski terdapat adanya perbedaan dialek dan kosakata dalam bahasa Gayo seperti yang disebutkan sebelumnya (Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Lokop dan Kalul), namun perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang berarti dalam proses komunikasi antar penutur bahasa Gayo. Perbedaan dialek dan kosakata tersebut menjadi cerminan kayanya kandungan bahasa Gayo. Kedua, bahasa ini berfungsi sebagai bahasa pengantar terutama pada periode awal penyebaran Islam dan dalam dunia pendidikan. Dapat kita lihat pada saman, didong dan beberapa sastra lisan Gayo lainnya. Dengan demikian, proses peyampaian menjadi lebih efektif dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Di kota Takengon sendiri, yang multietnis dan multikultural, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar untuk berkomunikasi. Ketiga, sebagai identitas; melalui bahasa, kita dapat mengetahui kepribadian, identitas dan budaya bangsa lain, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo. Pada akhirnya, keberadaan bahasa menjadikan penuturnya bangga akan kepemilikan bahasa yang bersangkutan. Demikian halnya bagi orang Gayo, bahasa Gayo menjadi kebanggaan tersendiri bagi para penuturnya.








SUMBER KAJIAN


Bener Meriah and wikipedia
yasirmaster.blogspot.com         
http://athawilaga Grafis.blogspot.com

sosbudmem


Selasa, 07 Oktober 2014

CINTA PERTAMA, AKANKAH MENJADI CINTA YANG TERAKHIR

Itu adalah sebuah getaran, menandakan hadirnya akan sebuah perasaan. perasaan yang tak pernah menjadi pilihan, namun itulah takdir yang harus diterima dengan penuh keikhlasan. kebahagiaan yang didatangkan oleh cinta pertama selalu diiringi oleh kekhawatiran, itulah yang saya alami, karena saya memikirkan segala sesuatu yang saya rasakan. apakah itu bahagia atau pun sedih tetap menjadi teka teki yang harus saya jawab sebelum saya menikmatinya hingga saya bisa menerimanya dengan pebuh keikhlasan. Saya percaya namun bukan berarti mengharapkannya, bahwa setiap kebahagiaan pasti akan ada kesedihan, dan setiap kesedihan juga selalu diiringi oleh kebahagiaan. Begitulah, jatuh cinta adalah suatu hal yg sangat menyenangkan, sangat membahagiakan, itu adalah konsep yang universal. Namun jatuh cinta tetpalah suatu hal yang memiliki dua kepercayaan, yaitu sedih dan bahagia. kita tidak boleh melupakan kedua hal tersebut, jika kita melupakannya maka kecewa sebagai hasil terbesarnya, karena jatuh cinta adalah hal yang memiliki dua kepercayaan. maka kedua-duanya harus seimbang keberadaannya didalam pikiran dan selalulah menjadi pertimbangan, jika salah satunya diabaikan maka hasilnya kembali pada kekecewaan.

Begitulah, saya punya kepercayaan saat saya jatuh cinta, yaitu saya mempercayai akan adanya kesedihan disamping kebahgiaan, karena kesedihan dan kebahagiaan adalah pasangan yang telah ditakdirkan akan selalu ada dalam segala kesempatan, karena itulah saya tidak sepenuhnya tersenyum disaat saya jatuh cinta untuk pertama kalinya dan tidak pula berduka karenya. karena jatuh cinta adalah anugrah yang Mahakuasa, jatuh cinta manjadi pertanda bahwa saya adalah perempuan biasa yang normal sebagaimana mestinya,,

AKU PUN JATUH CINTA,, bersambung :)